Senin, 15 September 2014

PELEPASLIARAN SATWA PENYU DI PESISIR PANTAI LAUT TIMOR - NUSA TENGGARA TIMUR


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Nusa Tenggara Timur

Wilayah Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak antara 80-120 Lintang Selatan dan 1180 -1250  Bujur Timur dengan Luas wilayah 23.046.530 hektar, luas daratan  4.734.991 hektar dan luas perairan laut 18.311.539 hektar yang tersebar pada  566 pulau besar dan kecil, 42 pulau diantaranya berpenghuni dan 524 belum perpenghuni, 3 pulau besar yaitu Pulu Flores, Pulau Timor dan Pulau Sumba, dan 3 pulau sedang yaitu Pulau Alor, Pulau Lembata dan Pulau Rote.  Sebagian besar wilayah bergunung dan berbukit, hanya sedikit daratan rendah dan memiliki sebanyak 40 sungai dengan panjang antara 25-118 Km (Statistik NTT  2009 dalam Angka).

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) memiliki tujuan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Upaya ini merupakan tanggungjawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Tanggungjawab dan kewajiban masyarakat dalam upaya konservasi hanya dapat dilakukan melalui proses mengetahui keberadaan kawasan hutan konservasi dengan statusnya masing-masing serta mengetahui dan menyadari nilai penting dan manfaat sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga diharapkan masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya yang lebih bijaksana dan lestari.

Di bidang pengelolaan hutan konservasi, Kementerian Kehutanan selaku representasi pemerintah pusat membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) berupa Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (BBKSDA NTT) melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 51/Menhut-II/2009, Tanggal 27 Juli 2009 Tentang  Perubahan  Kesatu Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 02/Menhut-II/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.  Balai Besar KSDA NTT memiliki tugas untuk menyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, dan Taman Buru, koordinasi teknis pengelolaan Taman Hutan Raya dan Hutan Lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Balai Besar KSDA NTT memiliki 29 kawasan konservasi dengan luas 221.772,29  hektar, yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam sebanyak 13 (tiga belas) unit.   Cagar Alam sebanyak 8 unit dan Suaka Margasatwa sebanyak 6 unit.  Kawasan Pelestarian Alam berupa Taman Wisata Alam sebanyak 13 (tiga belas) unit  dan Taman Buru sebanyak 2 (dua) unit.

Gambar 1. Peta Penyebaran Kawasan Konservasi di Nusa Tenggara Timur

Kawasan Taman Buru Dataran Bena

Kawasan Taman Buru dataran Bena merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di arah timur Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur yang secara administratif pemerintahan berada pada wilayah Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa tenggara Timur. Kawasan Ini dalam pengelolaannya berada pada Unit Pelaksana Teknis  Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur, Bidang KSDA Wilayah I, Seksi Konservasi Wilayah I, Resort Konservasi Wilayah Suaka Margasatwa Ale Aisio dan Taman Buru Dataran Bena.

Secara historis, kelompok hutan Bena di tunjuk melalui keputusan Menteri Pertanian Nomor : 05/Kpts/Um/1/1978 tanggal 20 Januari 1978 dengan luas 11.000 Ha. Pada tahun 1980 dilakukan tata batas sehingga luas kawasan ini menjadi  2.000,64 Ha. Sebagai tahap akhir pengukuhan kawasan, kelompok hutan Bena ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 74/ Kpts-II/1996 tanggal 27 Februari 1996 tentang Penetapan Kelompok Hutan Bena (RTK.190) yang Terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan, Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, Seluas 2.000,64 Hektar dengan Fungsi Taman Buru.

Taman Buru Dataran Bena memiliki 4 tipe perwakilan ekosistem hutan, yaitu, hutan bakau yang terdapat di sekitar muara sungai Noelmina dan Noemuke, hutan pantai terdapat di sekitar pantai selatan, hutan musim serta savanna yang terdapat pada bagian tengah dan utara kawasan. Bentangan pantai selatan: merupakan bentangan pasir dibibir pantai, meskipun tidak berpasir putih, namun secara komparatif dibandingkan dengan daerah lain kawasan ini memiliki pantai yang relatif panjang  ± 13,5 km yang diitumbuhi oleh jenis cemara laut dan ketapang. Selain itu, kawasan pantai merupakan daerah pendaratan dan peneluran (Nesting Site) dari salah satu jenis penyu di dunia, yaitu Penyu Lekang/Abu-abu/Sisik Semu (Lepidochelys olivacea).

Keberadaan penyu di kawasan ini telah menjadi perhatian khusus dari BBKSDA NTT yang sejak tahun 2008 telah melakukan upaya konservasi penyu melalui kegiatan penetasan telur penyu semi alami. Upaya ini merupakan salah satu langka dalam penyelamatan penyu dan habitatnya dari berbagai gangguan. Seperti halnya di daerah-daerah pendaratan dan peneluran di tempat lain, gangguan dan terhadap penyu pun terjadi di kawasan ini. Gangguan atau ancaman yang mengganggu kehidupan penyu di kawasan ini antara lain: Pemangsaan terhadap tukik yang baru keluar dari sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing, biawak dan burung elang/pelikan), Perubahan iklim sehingga permukaan air laut naik dan terjadi erosi pantai yang berpengaruh terhadap memetinya penyu, Tertangkapnya penyu karena aktivitas perikanan, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap, seperti tombak dan pukat serta penangkapan induk penyu untuk dimanfaatkan dagingnya dan pengambilan telur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein oleh warga masyarakat sekitar.

Untuk meminimalisir gangguan dan ancaman terhadap satwa penyu, maka kegiatan pencegahan seperti penyuluhan dan kegiatan patroli sepanjang jalur pendaratan dan peneluran pada sekitar bulan Maret-September terus dilakukan oleh petugas resort setempat serta tindakan hukum untuk pelaku perburuan penyu.

Gambar 3. Jejak Induk Penyu Lekang di Pesisir Pantai TB. Dataran Bena

Landasan Yuridis Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan

Salah satu hal yang unik dalam tindak pidana kehutanan adalah adanya barang bukti berupa SATWA LIAR, yang mana dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendapat porsi tentang perlakuan terhadap Barang bukti berupa satwa liar apabila terjadi penyitaan. Hal ini karena kriminalisasi terhadap pemanfaatan satwa liar terjadi tahun 1990 atau 9 (sembilan) tahun setelah diundangkannya KUHAP. Yaitu dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan EKosistemnya.

Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (4) KUHAP, bahwa “Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau UNTUK DIMUSNAHKAN” . jika benda sitaan berupa satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup dan dimusnahkan tentu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi sumber daya alam hayati, jalan keluar yang tepat dan bijak adalah PELEPASLIARAN.

Landasan Yuridis  pelepasliaran satwa liar  terdapat pada penjelasan Pasal 53 ayat (3) PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan bahwa : Satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang hasil sitaan, rampasan dan temuan dapat dilakukan tindakan :
1.  Dikembalikan ke alam;
2. Dititipkan pada lembaga konservasi atau badan usaha yang bergerak di bidang   konservasi yang dianggap mampu; atau
3.  Dimusnahkan dengan izin pejabat yang berwenang.

Lebih lanjut, dalam Pasal 9 huruf h Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2010 tentang “PENGURUSAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA KEHUTANAN”, menjelaskan : “bahwa Tata cara pengurusan barang bukti meliputi : PEMUSNAHAN DAN PELEPASLIARAN”.

Pelepasliaran dilakukan terhadap barang bukti berupa tumbuhan atau satwa liar dalam keadaan hidup berupa :
a.   Tumbuhan atau satwa yang dilindungi; dan
b. Tumbuhan atau satwa yang berasal dari kawasan Suaka Alam atau kawasan  Pelestarian alam.
c. Apabila di wilayah kerja instansi yang menangani Tipihut tidak terdapat sarana pemeliharan barang bukti  tumbuhan atau satwa yang memadai maka barang bukti tersebut dapat dilepasliarkan.

Pelaksanaan pelepasliaran barang bukti berupa satwa liar wajib mempertimbangkan:
1. Tumbuhan dan satwa yang akan dilepasliarkan masih memiliki sifat liar atau  memiliki gen yang masih murni sehingga mampu bertahan di habitatnya;
2.  Tumbuhan dan satwa yang akan di lepasliarkan dalam keadaan sehat/tidak memiliki  penyakit menular; dan
3.  Lokasi pelepasliaran satwa merupakan habitat asli satwa yang akan dilepasliarkan.

Setiap kegiatan pemusnahan atau pelepasliaran barang bukti wajib dibuatkan berita acara. berita acara penyisihan barang bukti; dan berita acara pemusnahan atau pelepasliaran. Pasal 43 ayat (1) dan (2).

Pelepasliaran Induk Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

Pelepasaliaran barang bukti tindak pidana kehutanan hasil sitaan berupa Induk Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 2014 di Pesisir Pantai Laut Timor yang berbatasan dengan kawasan Taman Buru Dataran Bena. Induk Penyu Lekang yang dilepasliarkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
-    Sisik Karapas 9 Pasang
-    Berat Induk 33,5 kg
-    Panjang Induk         93 cm
-    Lebar Dada 48 cm
-    Lebar Karapas 59 cm
-    Panjang Kepala 14 cm
-    Lingkar Kepala        36 cm
-    Panjang ekor 9 cm
-    Panjang Fliper Depan 40 cm
-    Panjang Fliper Belakang 32 cm
-    Nomor Tagging : ID. BBKSDA NTT - TB Bena 0021 – 2014

Gambar 3. Induk Penyu Lekang yang dilepasliarkan

Pelepasliaran/penyelamatan satwa liar yang dicurigai sebagai barang bukti tindak pidana kehutanan dilakukan dengan pertimbangan, bahwa barang bukti satwa liar dalam keadaan hidup, merupakan satwa yang dilindungi, serta pada wilayah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur selaku instansi yang menangani tindak pidana kehutanan belum memiliki sarana pemeliharaan yang memadai, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan (Pasal 41).

Kegiatan pelepasliaran induk penyu lekang disaksikan oleh aparat Resort Konservasi Wilayah SM. Ale Aisio dan TB. Dataran Bena, Aparat Polsek Amanuban Selatan, Aparat Desa Oebelo dan pelaku penangkapan penyu.

***Semoga Bermanfaat***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar