Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Nusa Tenggara
Timur
Wilayah Nusa Tenggara Timur secara geografis
terletak antara 80-120 Lintang Selatan dan 1180 -1250 Bujur Timur dengan Luas wilayah 23.046.530
hektar, luas daratan 4.734.991 hektar
dan luas perairan laut 18.311.539 hektar yang tersebar pada 566 pulau besar dan kecil, 42 pulau
diantaranya berpenghuni dan 524 belum perpenghuni, 3 pulau besar yaitu Pulu
Flores, Pulau Timor dan Pulau Sumba, dan 3 pulau sedang yaitu Pulau Alor, Pulau
Lembata dan Pulau Rote. Sebagian besar
wilayah bergunung dan berbukit, hanya sedikit daratan rendah dan memiliki
sebanyak 40 sungai dengan panjang antara 25-118 Km (Statistik NTT 2009 dalam Angka).
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (KSDAH & E) memiliki tujuan untuk mewujudkan kelestarian
sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Upaya ini merupakan tanggungjawab dan kewajiban pemerintah serta
masyarakat. Tanggungjawab dan kewajiban masyarakat dalam upaya konservasi hanya
dapat dilakukan melalui proses mengetahui keberadaan kawasan hutan konservasi
dengan statusnya masing-masing serta mengetahui dan menyadari nilai penting dan
manfaat sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga diharapkan masyarakat
berpartisipasi aktif dalam proses pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya
yang lebih bijaksana dan lestari.
Di bidang pengelolaan hutan konservasi, Kementerian
Kehutanan selaku representasi pemerintah pusat membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT)
berupa Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (BBKSDA NTT)
melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 51/Menhut-II/2009, Tanggal 27
Juli 2009 Tentang Perubahan Kesatu Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
: P. 02/Menhut-II/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Konservasi Sumber Daya Alam. Balai Besar
KSDA NTT memiliki tugas untuk menyelenggaraan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Wisata Alam, dan Taman Buru, koordinasi teknis pengelolaan Taman Hutan Raya dan
Hutan Lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan
konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Balai Besar
KSDA NTT memiliki 29 kawasan konservasi dengan luas 221.772,29 hektar, yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam
sebanyak 13 (tiga belas) unit. Cagar
Alam sebanyak 8 unit dan Suaka Margasatwa sebanyak 6 unit. Kawasan Pelestarian Alam berupa Taman Wisata
Alam sebanyak 13 (tiga belas) unit dan
Taman Buru sebanyak 2 (dua) unit.
Gambar 1. Peta Penyebaran Kawasan Konservasi di Nusa Tenggara Timur
Kawasan Taman Buru Dataran Bena
Kawasan Taman Buru dataran Bena merupakan salah
satu kawasan konservasi yang terletak di arah timur Pulau Timor Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang secara administratif pemerintahan berada pada wilayah
Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
tenggara Timur. Kawasan Ini dalam pengelolaannya berada pada Unit Pelaksana
Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam Nusa Tenggara Timur, Bidang KSDA Wilayah I, Seksi Konservasi Wilayah I,
Resort Konservasi Wilayah Suaka Margasatwa Ale Aisio dan Taman Buru Dataran
Bena.
Secara historis, kelompok hutan Bena di tunjuk
melalui keputusan Menteri Pertanian Nomor : 05/Kpts/Um/1/1978 tanggal 20
Januari 1978 dengan luas 11.000 Ha. Pada tahun 1980 dilakukan tata batas
sehingga luas kawasan ini menjadi
2.000,64 Ha. Sebagai tahap akhir pengukuhan kawasan, kelompok hutan Bena
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 74/ Kpts-II/1996 tanggal
27 Februari 1996 tentang Penetapan Kelompok Hutan Bena (RTK.190) yang Terletak
di Kabupaten Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan, Provinsi Daerah Tingkat I
Nusa Tenggara Timur, Seluas 2.000,64 Hektar dengan Fungsi Taman Buru.
Taman Buru Dataran Bena memiliki 4 tipe perwakilan
ekosistem hutan, yaitu, hutan bakau yang terdapat di sekitar muara sungai
Noelmina dan Noemuke, hutan pantai terdapat di sekitar pantai selatan, hutan
musim serta savanna yang terdapat pada bagian tengah dan utara kawasan.
Bentangan pantai selatan: merupakan bentangan pasir dibibir pantai, meskipun
tidak berpasir putih, namun secara komparatif dibandingkan dengan daerah lain
kawasan ini memiliki pantai yang relatif panjang ± 13,5 km yang diitumbuhi oleh jenis cemara
laut dan ketapang. Selain itu, kawasan pantai merupakan daerah pendaratan dan
peneluran (Nesting Site) dari salah satu jenis penyu di dunia, yaitu Penyu
Lekang/Abu-abu/Sisik Semu (Lepidochelys
olivacea).
Keberadaan penyu di kawasan ini telah menjadi
perhatian khusus dari BBKSDA NTT yang sejak tahun 2008 telah melakukan upaya
konservasi penyu melalui kegiatan penetasan telur penyu semi alami. Upaya ini
merupakan salah satu langka dalam penyelamatan penyu dan habitatnya dari
berbagai gangguan. Seperti halnya di daerah-daerah pendaratan dan peneluran di
tempat lain, gangguan dan terhadap penyu pun terjadi di kawasan ini. Gangguan
atau ancaman yang mengganggu kehidupan penyu di kawasan ini antara lain: Pemangsaan
terhadap tukik yang baru keluar dari sarang (diantaranya oleh babi hutan,
anjing, biawak dan burung elang/pelikan), Perubahan iklim sehingga permukaan
air laut naik dan terjadi erosi pantai yang berpengaruh terhadap memetinya
penyu, Tertangkapnya penyu karena aktivitas perikanan, baik disengaja maupun
tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap, seperti tombak dan pukat serta penangkapan
induk penyu untuk dimanfaatkan dagingnya dan pengambilan telur penyu yang
dimanfaatkan sebagai sumber protein oleh warga masyarakat sekitar.
Untuk meminimalisir gangguan dan ancaman terhadap
satwa penyu, maka kegiatan pencegahan seperti penyuluhan dan kegiatan patroli
sepanjang jalur pendaratan dan peneluran pada sekitar bulan Maret-September
terus dilakukan oleh petugas resort setempat serta tindakan hukum untuk pelaku
perburuan penyu.
Gambar 3. Jejak Induk Penyu Lekang di Pesisir Pantai TB. Dataran Bena
Landasan Yuridis Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan
Salah satu hal yang unik dalam tindak pidana
kehutanan adalah adanya barang bukti berupa SATWA LIAR, yang mana dalam Kitab
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendapat porsi tentang perlakuan terhadap
Barang bukti berupa satwa liar apabila terjadi penyitaan. Hal ini karena
kriminalisasi terhadap pemanfaatan satwa liar terjadi tahun 1990 atau 9
(sembilan) tahun setelah diundangkannya KUHAP. Yaitu dengan diundangkannya UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan EKosistemnya.
Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (4) KUHAP, bahwa
“Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak
termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk
dipergunakan bagi kepentingan negara atau UNTUK DIMUSNAHKAN” . jika benda
sitaan berupa satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup dan dimusnahkan tentu
sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi sumber daya alam hayati,
jalan keluar yang tepat dan bijak adalah PELEPASLIARAN.
Landasan Yuridis
pelepasliaran satwa liar terdapat
pada penjelasan Pasal 53 ayat (3) PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
bahwa : Satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang hasil
sitaan, rampasan dan temuan dapat dilakukan tindakan :
1. Dikembalikan
ke alam;
2. Dititipkan
pada lembaga konservasi atau badan usaha yang bergerak di bidang konservasi yang dianggap mampu; atau
3. Dimusnahkan
dengan izin pejabat yang berwenang.
Lebih lanjut, dalam Pasal 9 huruf h Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2010 tentang “PENGURUSAN BARANG BUKTI
TINDAK PIDANA KEHUTANAN”, menjelaskan : “bahwa Tata cara pengurusan barang
bukti meliputi : PEMUSNAHAN DAN PELEPASLIARAN”.
Pelepasliaran dilakukan terhadap barang bukti
berupa tumbuhan atau satwa liar dalam keadaan hidup berupa :
a. Tumbuhan
atau satwa yang dilindungi; dan
b. Tumbuhan
atau satwa yang berasal dari kawasan Suaka Alam atau kawasan Pelestarian alam.
c. Apabila
di wilayah kerja instansi yang menangani Tipihut tidak terdapat sarana
pemeliharan barang bukti tumbuhan atau
satwa yang memadai maka barang bukti tersebut dapat dilepasliarkan.
Pelaksanaan pelepasliaran barang bukti berupa
satwa liar wajib mempertimbangkan:
1. Tumbuhan
dan satwa yang akan dilepasliarkan masih memiliki sifat liar atau memiliki gen
yang masih murni sehingga mampu bertahan di habitatnya;
2. Tumbuhan
dan satwa yang akan di lepasliarkan dalam keadaan sehat/tidak memiliki penyakit
menular; dan
3. Lokasi
pelepasliaran satwa merupakan habitat asli satwa yang akan dilepasliarkan.
Setiap kegiatan pemusnahan atau pelepasliaran
barang bukti wajib dibuatkan berita acara. berita acara penyisihan barang
bukti; dan berita acara pemusnahan atau pelepasliaran. Pasal 43 ayat (1) dan
(2).
Pelepasliaran Induk Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea)
Pelepasaliaran barang bukti tindak pidana
kehutanan hasil sitaan berupa Induk Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 2014 di Pesisir Pantai Laut
Timor yang berbatasan dengan kawasan Taman Buru Dataran Bena. Induk Penyu
Lekang yang dilepasliarkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Sisik
Karapas 9 Pasang
- Berat
Induk 33,5 kg
- Panjang
Induk 93 cm
- Lebar
Dada 48 cm
- Lebar
Karapas 59 cm
- Panjang
Kepala 14 cm
- Lingkar
Kepala 36 cm
- Panjang
ekor 9 cm
- Panjang
Fliper Depan 40 cm
- Panjang
Fliper Belakang 32 cm
- Nomor
Tagging : ID. BBKSDA NTT - TB Bena 0021 – 2014
Pelepasliaran/penyelamatan satwa liar yang
dicurigai sebagai barang bukti tindak pidana kehutanan dilakukan dengan
pertimbangan, bahwa barang bukti satwa liar dalam keadaan hidup, merupakan
satwa yang dilindungi, serta pada wilayah Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam Nusa Tenggara Timur selaku instansi yang menangani tindak pidana kehutanan
belum memiliki sarana pemeliharaan yang memadai, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan
Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan (Pasal 41).
Kegiatan pelepasliaran induk penyu lekang
disaksikan oleh aparat Resort Konservasi Wilayah SM. Ale Aisio dan TB. Dataran
Bena, Aparat Polsek Amanuban Selatan, Aparat Desa Oebelo dan pelaku penangkapan
penyu.
***Semoga Bermanfaat***